“Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang dari-Ku.”
Perasaan cinta-kasih antara laki-laki dan perempuan juga diabadikan dalam Al-Qur’an, di antaranya kisah tentang Nabi Adam AS dan Siti Hawa, Shafura dan Nabi Musa AS, Sayyidah Zulaikha dan Nabi Yusuf AS, Nabi Sulaiman AS dan Ratu Bilqis, serta kisah-kisah lain yang menjadi ibarah tentang agungnya perasaan saling mencintai di antara anak manusia yang didasari dengan perasaan cinta tehadap Sang Pencipta.
Hidup, mati, rezeki, dan jodoh merupakan takdir Tuhan yang harus selalu diikhtiarkan hamba-hamba-Nya. Namun, untuk urusan jodoh, perempuan dengan budaya ketimurannya merasa harus menunggu “ditembak” atau mendapatkan ungkapan pernyataan cinta terlebih dahulu dari seorang laki-laki. Gambaran perempuan yang feminim, kalem, menjadi sosok penunggu, dan budaya merumahkan perempuan dianggap standar norma di masyarakat bahwa perempuan memang ditakdirkan untuk dipilih. Menolak lamaran pun dianggap pamali.
Pada masa Nabi Muhammad Saw, kisah keberanian Sayyidah Khadijah mampu mendobrak batas “perempuan penunggu jodoh” tersebut. Meskipun yang melamar tetap Rasulullah Saw, tetapi Sayyidah Khadijah yang terlebih dahulu menyampaikan perasaan cintanya kepada Nabi dan berkehendak untuk menjalin hubungan dalam ikatan pernikahan melalui perantara utusannya, yakni Nafisah. Rasulullah Saw pun merasa bahagia atas kedatangan Nafisah yang menyampaikan maksud tersebut. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Rasulullah akhirnya melamar dan menikahi Sayyidah Khadijah dengan mahar yang fantastis.
Sayyidah Khadijah merupakan seorang single parentatau orang tua tunggal setelah ditinggal wafat oleh suami pertama dan keduanya. Keputusan Sayyidah Khadijah Al-Kubra untuk menyatakan cintanya kepada Nabi Saw bukan tanpa sebab. Adalah Nabi Saw dengan karakter “Al-amin” (terpecaya) yang membuat Sayyidah Khadijah jatuh hati meskipun keduanya bertaut usia 15 tahun.
Dijelaskan pula dalam Manaqib Sayyidah Khadijah Al-Kubra, bahwa ketika Sayyidah Aminah melahirkan Nabi Muhammad, Khadijah turut mendampingi. Khadijah yang melihat Rasulullah Saw dalam buaian sang ibunda tiba-tiba merasa tenteram hingg bergumam, “Begitu menyenangkan sekali melihat aura bayi ini.”
Diriwayatkan pula bahwa Sayyidah Khadijah pernah bermimpi matahari turun dan bersinar benderang memasuki rumahnya. Sang paman, Waraqah pun mentakwil bahwa mimpi tersebut bermakna di suatu masa ia akan menikah dengan seorang utusan Allah.
Sayyidah Khadijah dikenal sebagai perempuan yang cerdas dalam mengambil peluang. Ia juga dipandang sebagai perempuan dengan kemampuan manajemen finansial yang baik sehingga mampu menjadi pedagang yang sukses. Sebanyak 3/4 kekayaan di Makkah adalah milik Khadijah. Ia juga masyhur sebagai pengusaha yang memprioritaskan sikap jujur ketika merekrut para karyawan. Terlebih lagi, dalam urusan jodoh.
Kisah ini dapat menjadi contoh bahwa perempuan juga berhak untuk menyatakan cinta terlebih dahulu kepada seorang laki-laki. Apalagi, jika laki-laki tersebut merupakan sosok yang salih, alim, dan bertanggung jawab.
Betapa banyak orang yang menyesal akibat telah menyembunyikan rasa cintanya, sedangkan keduanya tidak ada yang berani memulai mengungkapkan perasaannya lebih dulu.
Maka, boleh juga apabila ada seorang perempuan menyatakan cintanya atau meminta tolong diperantarai atau dicomblangkan (sebagaimana Sayyidah Khadijah meminta bantuan Nafisah) dengan seorang laki-laki karena kebaikannya, kealimannya, atau kesalihannya. Hal ini tidaklah dipandang rendah oleh syariat, bahkan keberanian seorang perempuan yang salihah untuk menyatakan cinta secara ma’ruf kepada laki-laki yang salih pula, menunjukkan bahwa perempuan tersebut adalah perempuan mulia. Hal itu sebagaimana tertera dalam hadis:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺮﺣﻮﻡ ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺛﺎﺑﺘﺎ اﻟﺒﻨﺎﻧﻲ ﻗﺎﻝ: ﻛﻨﺖ ﻋﻨﺪ ﺃﻧﺲ ﻭﻋﻨﺪﻩ اﺑﻨﺔ ﻟﻪ، ﻗﺎﻝ ﺃﻧﺲ: ﺟﺎءﺕ اﻣﺮﺃﺓ ﺇﻟﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺗﻌﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﻔﺴﻬﺎ، ﻗﺎﻟﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ! ﺃﻟﻚ ﺑﻲ ﺣﺎﺟﺔ؟ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺑﻨﺖ ﺃﻧﺲ: ﻣﺎ ﺃﻗﻞ ﺣﻴﺎءﻫﺎ، ﻭاﺳﻮﺃﺗﺎﻩ ﻭاﺳﻮﺃﺗﺎﻩ. ﻗﺎﻝ: ﻫﻲ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻚ، ﺭﻏﺒﺖ ﻓﻲ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻌﺮﺿﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﻔﺴﻬﺎ
“Telah menceritakan kepada kami, Ali bin Abdullah dari Marhum bin Abdul Aziz bin Mihran, ia mendengar Tsabit Al Bunani berkata, ‘Aku pernah berada di tempat Anas, sedang ia memiliki anak perempuan. Anas berkata, ‘Ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw lalu menyatakan cintanya kepada Nabi Saw.’ Perempuan itu berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw, adakah engkau berhasrat kepadaku?’ Lalu anak perempuan Anas pun berkomentar, ‘Alangkah sedikitnya rasa malunya.’ Anas pun membela perempuan itu dengan berkata, ‘Perempuan itu lebih baik dari pada kamu, sebab ia suka pada Nabi Saw hingga ia menghibahkan dirinya pada beliau.” (HR. Al-Bukhari).
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Budayakan berkomentar ヽ(^。^)ノ