Menulis untuk Bahagia

Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Nyai Ontosoroh - Bumi Manusia)

Main Posts Background Image

Main Posts Background Image

Rabu, 06 Maret 2024

Cewek Nembak Duluan? Rugi Dong, yang Bener Aja!


sumber gambar: cdn.idntimes.com

Sesungguhnya perasaan cinta bersifat naluriah bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan. Jatuh cinta merupakan urusan hati yang tiada kemampuan bagi siapa pun untuk memilih. Cinta bisa datang dengan sebab apapun, entah itu karena fisik, sifat, karakter, atau kecenderungan hatinya sendiri ketika memperhatikan apa yang dicintainya. Anugerah rasa cinta pada diri manusia ini sebagaimana tertera dalam QS. Taha: 39, Allah Swt berfirman: 

… وَاَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِّنِّيْ …

“Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang dari-Ku.”

Perasaan cinta-kasih antara laki-laki dan perempuan juga diabadikan dalam Al-Qur’an, di antaranya kisah tentang Nabi Adam AS dan Siti Hawa, Shafura dan Nabi Musa AS, Sayyidah Zulaikha dan Nabi Yusuf AS, Nabi Sulaiman AS dan Ratu Bilqis, serta kisah-kisah lain yang menjadi ibarah tentang agungnya perasaan saling mencintai di antara anak manusia yang didasari dengan perasaan cinta tehadap Sang Pencipta.

Hidup, mati, rezeki, dan jodoh merupakan takdir Tuhan yang harus selalu diikhtiarkan hamba-hamba-Nya. Namun, untuk urusan jodoh, perempuan dengan budaya ketimurannya merasa harus menunggu “ditembak” atau mendapatkan ungkapan pernyataan cinta terlebih dahulu dari seorang laki-laki. Gambaran perempuan yang feminim, kalem, menjadi sosok penunggu, dan budaya merumahkan perempuan dianggap standar norma di masyarakat bahwa perempuan memang ditakdirkan untuk dipilih. Menolak lamaran pun dianggap pamali.

Pada masa Nabi Muhammad Saw, kisah keberanian Sayyidah Khadijah mampu mendobrak batas “perempuan penunggu jodoh” tersebut. Meskipun yang melamar tetap Rasulullah Saw, tetapi Sayyidah Khadijah yang terlebih dahulu menyampaikan perasaan cintanya kepada Nabi dan berkehendak untuk menjalin hubungan dalam ikatan pernikahan melalui perantara utusannya, yakni Nafisah. Rasulullah Saw pun merasa bahagia atas kedatangan Nafisah yang menyampaikan maksud tersebut. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Rasulullah akhirnya melamar dan menikahi Sayyidah Khadijah dengan mahar yang fantastis.

Sayyidah Khadijah merupakan seorang single parentatau orang tua tunggal setelah ditinggal wafat oleh suami pertama dan keduanya. Keputusan Sayyidah Khadijah Al-Kubra untuk menyatakan cintanya kepada Nabi Saw bukan tanpa sebab. Adalah Nabi Saw dengan karakter “Al-amin” (terpecaya) yang membuat Sayyidah Khadijah jatuh hati meskipun keduanya bertaut usia 15 tahun.

Dijelaskan pula dalam Manaqib Sayyidah Khadijah Al-Kubra, bahwa ketika Sayyidah Aminah melahirkan Nabi Muhammad, Khadijah turut mendampingi. Khadijah yang melihat Rasulullah Saw dalam buaian sang ibunda tiba-tiba merasa tenteram hingg bergumam, “Begitu menyenangkan sekali melihat aura bayi ini.” 

Diriwayatkan pula bahwa Sayyidah Khadijah pernah bermimpi matahari turun dan bersinar benderang memasuki rumahnya. Sang paman, Waraqah pun mentakwil bahwa mimpi tersebut bermakna di suatu masa ia akan menikah dengan seorang utusan Allah.

Sayyidah Khadijah dikenal sebagai perempuan yang cerdas dalam mengambil peluang. Ia juga dipandang sebagai perempuan dengan kemampuan manajemen finansial yang baik sehingga mampu menjadi pedagang yang sukses. Sebanyak 3/4 kekayaan di Makkah adalah milik Khadijah. Ia juga masyhur sebagai pengusaha yang memprioritaskan sikap jujur ketika merekrut para karyawan. Terlebih lagi, dalam urusan jodoh.

Kisah ini dapat menjadi contoh bahwa perempuan juga berhak untuk menyatakan cinta terlebih dahulu kepada seorang laki-laki. Apalagi, jika laki-laki tersebut merupakan sosok yang salih, alim, dan bertanggung jawab.

Betapa banyak orang yang menyesal akibat telah menyembunyikan rasa cintanya, sedangkan keduanya tidak ada yang berani memulai mengungkapkan perasaannya lebih dulu. 

Maka, boleh juga apabila ada seorang perempuan menyatakan cintanya atau meminta tolong diperantarai atau dicomblangkan (sebagaimana Sayyidah Khadijah meminta bantuan Nafisah) dengan seorang laki-laki karena kebaikannya, kealimannya, atau kesalihannya. Hal ini tidaklah dipandang rendah oleh syariat, bahkan keberanian seorang perempuan yang salihah untuk menyatakan cinta secara ma’ruf kepada laki-laki yang salih pula, menunjukkan bahwa perempuan tersebut adalah perempuan mulia. Hal itu sebagaimana tertera dalam hadis: 

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺮﺣﻮﻡ ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺛﺎﺑﺘﺎ اﻟﺒﻨﺎﻧﻲ ﻗﺎﻝ: ﻛﻨﺖ ﻋﻨﺪ ﺃﻧﺲ ﻭﻋﻨﺪﻩ اﺑﻨﺔ ﻟﻪ، ﻗﺎﻝ ﺃﻧﺲ: ﺟﺎءﺕ اﻣﺮﺃﺓ ﺇﻟﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺗﻌﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﻔﺴﻬﺎ، ﻗﺎﻟﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ! ﺃﻟﻚ ﺑﻲ ﺣﺎﺟﺔ؟ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺑﻨﺖ ﺃﻧﺲ: ﻣﺎ ﺃﻗﻞ ﺣﻴﺎءﻫﺎ، ﻭاﺳﻮﺃﺗﺎﻩ ﻭاﺳﻮﺃﺗﺎﻩ. ﻗﺎﻝ: ﻫﻲ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻚ، ﺭﻏﺒﺖ ﻓﻲ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻌﺮﺿﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﻔﺴﻬﺎ

“Telah menceritakan kepada kami, Ali bin Abdullah dari Marhum bin Abdul Aziz bin Mihran, ia mendengar Tsabit Al Bunani berkata, ‘Aku pernah berada di tempat Anas, sedang ia memiliki anak perempuan. Anas berkata, ‘Ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw lalu menyatakan cintanya kepada Nabi Saw.’ Perempuan itu berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw, adakah engkau berhasrat kepadaku?’ Lalu anak perempuan Anas pun berkomentar, ‘Alangkah sedikitnya rasa malunya.’ Anas pun membela perempuan itu dengan berkata, ‘Perempuan itu lebih baik dari pada kamu, sebab ia suka pada Nabi Saw hingga ia menghibahkan dirinya pada beliau.” (HR. Al-Bukhari).


Selasa, 05 Maret 2024

Selalu Salah di Mata Mertua? Coba Lakukan Hal Ini!

sumber gambar: fimela.com

Cukup banyak kita jumpai konflik antara ibu mertua dan menantu perempuan. Di media sosial, bahkan begitu banyak curhatan menantu tentang sikap atau perlakuan kurang baik dari mertuanya, terutama mertua perempuan.

Jika kita kilas balik, ternyata terjadinya perselisihan antara mertua dan menantu perempuan ini sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial patriarki. Mengapa bisa begitu? Karena bagi seorang ibu, menantu perempuan bisa terlihat seperti pesaing untuk mendapatkan perhatian anak laki-lakinya.

Dalam Islam, prinsip dasar bangunan relasi adalah menjadi anugerah bagi semua pihak. Saat menjadi menantu, berusahalah menjadi anugerah bagi mertua. Dan saat menjadi seorang mertua, berusahalah menjadi anugerah bagi menantu.

Tetapi tentu saja ini menghendaki ikhtiar tak berkesudahan bagi semua pihak untuk terus menentukan sikap yang tepat. Dalam Al-Qur’an banyak dijelaskan bahwa relasi antarhamba harus bertumpu berdasarkan rasa ketakwaan, bukan berdasarkan atas kepemilikan. Seorang ibu tidak boleh menganggap bahwa anaknya adalah miliknya, begitu pula dengan istri atau suami tidak boleh menganggap pasangan sebagai sebuah kepemilikan. Kita semua hanya hamba Allah Swt.

Dalam QS. Al-Maidah: 8, Allah Swt berfirman: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad Saw bersabda:

اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمٰةِ اللهِ

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam memperlakukan istri, karena sesungguhnya kalian meminang mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan vagina mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muttafaq Alaih)

Tentu saja, mengomunikasikan dengan baik kepada suami menjadi hal yang patut dilakukan demi mengurai persoalan ini, meskipun memang, komunikasi yang baik tidak selamanya mampu diterima orang lain yang memiliki pendapat teguh tentang prioritas-prioritas kebaikan antara ibu dan istri.

Jika hal itu sudah dilakukan dan tetap tidak memberikan sebuah jawaban, maka, self love(memperlakukan diri secara terhormat) bagi perempuan bisa menjadi bagian dari terapi paling sederhana dalam menghadapi permasalahan dengan keluarga. Caranya adalah dengan sedikit tidak memedulikan hal-hal yang dapat menganggu kebahagiaan kita, dan tetaplah fokus terhadap diri sendiri. 

Teruslah berbuat baik terhadap siapa pun tanpa berharap orang lain bisa berbalik berbuat baik kepada kita. Sebab, sebuah kebaikan tidak akan pernah lupa jalan untuk pulang.

Dalam QS. An-Nahl: 97, Allah Swt berfirman: 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.”

Tetaplah berperilaku baik terhadap mertua dan suami, meskipun beliau-beliau tidak memberikan feedback(timbal balik) positif. Karena urusan baik terhadap mertua adalah kewajiban yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sedangkan urusan mertua atau suami tidak berlaku baik biarlah menjadi tanggungjawab mereka di hadapan Allah juga.

Terakhir, teruslah berdoa agar segera dibukakan segala kemudahan. Semoga kita semua bisa terus menjaga ketakwaan kepada Allah Swt dalam setiap tindakan kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan sebagai apa saja. Semoga kita bisa selalu memastikan tindakan kita bermanfaat untuk diri sendiri sekaligus orang lain seluas-luasnya. Amin.

Tulisan ini diterbitkan di https://ikhbar.com/konsultasi/selalu-salah-di-mata-mertua-ini-saran-ning-uswah/?

Fenomena Hijrah Artis

sumber: pinterest

Di tengah euforia artis yang berbondong-bondong memakai jilbab dan beberapa selebgram yang mengusung istilah hijrah, saya termasuk yang menganggapnya bukan suatu perubahan yang berarti. Justru di balik istilah hijrah, saya menyimpan perasaan miris di dalamnya.

Pertama tentang pemaknaan hijrah itu sendiri menurut para akhi dan ukhti dengan logat ana antum bermanhaj salafi dan sedikit-sedikit menegakkan sunnah. Hijrah kini dipersempit sekadar memakai jilbab bagi perempuan, tidak isbal bagi laki-laki, memanjangkan jenggot dan memunculkan atsar sujud dengan makna tekstual menghitamkan jidat.

Kedua, dengan bergantinya model baju, maqomnya naik ke level dakwah (auto ceramah), seseorang yang sudah hijrah menganggap dia berhak untuk menyampaikan ilmu meskipun satu ayat. Tidak heran banyak artis hijrah sudah berani membahas Hadis, membahas Qur'an dan menganggap yang tidak ada dalam Qur'an dan Hadis adalah bid'ah. Orang pesantren yang bergelut dengan alif ba' ta' dan tajwid terlebih dulu sebelum lancar membaca Qur'an dan menyentuh nahwu sorof tafsir mending minggir dulu deh sama Hijrais yang menyampaikan tafsir Qur'an dan Hadis karna mereka tercerahkan kajian-kajian dari Para Ustad. Skripturalisme kaum ini terkadang tidak bisa kita tawar dengan penjelasan serinci apapun dalam beberapa disiplin ilmu hingga sulit bagi mereka menerima perbedaan madzhab yang berkembang dalam keilmuan islam. Dan hati saya mak jegagig ketika ada artis yang baru pake jilbab nulis caption hadis disertai status hadisnya yang sohih, disohihkan oleh Albani. Padahal mustolah dan takhrij Hadis adalah ilmu yang rumit. 

Tidak sampai pada hal itu saja, tagar-tagar para ukhti di sosmed yang menyuarakan nikah muda, ta'aruf, Indonesia bebas pacaran, dosa berkhalwat, hijab syar'i, cadar untuk kesempurnaan kecantikan bidadari surgawi benar-benar bikin miris. Belum lagi kalau ada selebgram hafid Qur'an yang nikah muda para ukhti heboh bikin tagar patah hati dunia akhirat. Dan qodarullah (bahasanya ummu-ummu), tak ketinggalan para ummahat solihah yang mengusung tagar kami masyarakat bebas riba (tapi jualan online) dan selalu membicarakan bahaya laten PKI cukup andil mewarnai dunia kesalafian sosmed. Ikhwan yang sudah menikah tugasnya menyudutkan perempuan yang bekerja, nunjukin caranya jadi istri soleha dan berharap bisa poligami, mereka bilang itu dalil dalam Qur'an yang tidak boleh diingkari. Aqu qudu pengsan gaes sama logika ini. 

Mengusung istilah hijrah setelah ganti fashion yang lebih tertutup itu boleh-boleh saja. Tapi yang perlu diingat, Islam itu statis dengan pemahamannya yang sosiologis dan dinamis tanpa mengurangi keotentikan ajarannya. Islam yang dirisalahkan Nabi sejak ribuan tahun lalu mustahil akan berkembang pesat hingga saat ini jika tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Lalu dengan entheng para Hijrais mereduksinya dengan membawa Hadis tentang Ghuroba dengan versi tafsirannya "Islam itu asing dan bangga menjadi orang asing". Tidak sedikit hadis tersebut diartikan tidak masalah kita pakai cadar, menjauh dari komunitas dan menjadi orang asing, tidak mengapa kita hanya berkumpul dengan yang sesama ukhti saja, tidak peduli kita ditentang karna Nabi dulu juga ditentang saat dakwah.

Sebenarnya perkara cadar dan dakwah mereka tidak terlalu kronis, saya tidak akan membicarakan lebih dalam. Masalahnya, hadis ini lambat laut digiring untuk kemudian dijadikan 'senjata' bagi para radikalis dan teroris yang menganggap makar dan menyerang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai "aksi heroik jihadis", ada jargon "semakin asing seseorang semakin dekat dengan islam",  padahal jauh daripada hal itu, Ghuroba yang sesuai dengan akhlak Kanjeng Nabi adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan, yang tidak menganggap dirinya suci di tengah perkumpulan banyak orang, yang mampu menasihati diri sendiri sebelum menasihati orang lain.

Bisakah kita berhijrah tanpa tagar (ng)islami?
Ojo koyo islam-islamo dewe sak ndunya.. 😌

Perempuan di Ruang Pendidikan Hingga Konten Kreator Kinderflix Dilecehkan, Salah Siapa?

sumber: pinterest

Pertama kali masuk kelas perkuliahan jenjang doktoral yang memang usia mahasiswanya antara 30 hingga 70, tentunya hampir keseluruhannya sudah berumah tangga, ada satu teman perempuan datang terlambat. Sebagai perempuan di ruang pendidikan, Jumlah kami sangat minoritas 31:4, lalu dosen bertanya “Mengapa ibu terlambat?”

Belum sempat teman saya menjawab, bapak dosen nyeletuk lagi “Tapi saya maklum kalau ada ibu-ibu datang terlambat, barangkali diajakin ‘begituan’ sama suaminya”, lalu satu kelas yang mayoritas laki-laki itu tertawa gerrr.

Miris ya, ternyata guyonan seksis tidak cukup secara lisan, tetapi juga tulisan di grup whatsapp, dengan orang-orang yang sama. Mereka kerap mengirimkan pesan di grup yang bernada seksis.

Padahal jika kita lihat dari latar belakang pendidikan, mereka kebanyakan adalah berprofesi sebagai dosen dan sedang menjalani jenjang pendidikan doktoral. Lebih mirisnya lagi, jurusan yang kami ambil adalah pendidikan agama Islam. Tetapi guyonan yang selalu terlontarkan seputar selangkangan dan poligami.

Same energy, kebetulan lewat berita di beranda, akun Youtube Kinderflix yang kontennya adalah edukasi untuk balita justru menuai berbagai komentar pelecehan seksual yang ditujukan oleh konten kreator. Padahal banyak ibu-ibu yang terbantu dengan konten di akun Kinderflix. Bahkan membantu balita yang mengalami speech delaySee?


Konten kreatornya, Kak Nisa, adalah sarjana psikologi, sajian kontennya edukasi bayi. Editing videonya profesional layak bersanding dengan konten kreator edukasi bayi di luar negeri, pakaiannya sopan, juga memakai hijab. Tapi otak komentatornya yang tidak memiliki nurani, hatinya mati, seolah tidak jauh beda manusia dan pejantan yang sedang birahi.

Pengalaman Biologis Perempuan

Teko mengeluarkan sesuai isi, begitu pula dengan lisan, yang terucapkan mewakili isi kepala. Lima pengalaman biologis perempuan yang berupa menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui adalah untuk kita apresiasi, dan difasilitasi. Bukan untuk dilecehkan, direndahkan dengan guyonan bernada pelecehan seksual.

Sayangnya kelima pengalaman biologis tersebut menyebabkan lima pengalaman sosial berupa stigmatisasi, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena dia menjadi perempuan.

Perempuan mengalami fase menstruasi mingguan, ada premenstrual syndrome (PMS) atau gejala yang terjadi pada perempuan antara ovulasi dan menstruasi yang melibatkan perubahan hormon selama siklus menstruasi. Bahkan sebelum menstruasi, emosi menjadi kurang stabil karena perubahan hormon.

Ketika menstruasi pun ada banyak perempuan yang mengalami sakit kepala, kram perut, nyeri perut, anemia, mual, muntah. Bahkan ada yang pingsan, juga pendarahan berlebihan ketika menstruasi.

Hal ini menjadi suatu hal yang “sangat umum” bahkan terjadi pada kurang lebih 2 juta kasus per tahun di Indonesia.

Jenis Darah Perempuan

Dalam fikih, ilmu darah perempuan sangat luas, risiko-risiko ketika mengeluarkan darah “upnormal” kita bahas menjadi 7 jenis: Mubtadi’ah Mumayyizah, Mubtadi’ah Ghairu Mumayyizah, Mu’tadah Mumayyizah, Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li’adatiha Qadran wa Waqtan, Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li’adatiha Qadran Laa Waqtan, Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li’adatiha Waqtan Laa Qadran, darah ini dikenal dengan darah istihadlah atau darah penyakit.

Bayangkan, perempuan mengeluarkan darah tidak hanya mingguan. Tetapi juga bulanan, dan bagi muslimah diwajibkan memahami ketujuh jenis darah tersebut.

Laki-laki hanya mengalami 1 pengalaman biologis dengan mengeluarkan sperma selama beberapa menit dengan efek nikmat juga menyenangkan. Perempuan mungkin menikmati selama berhubungan seksual, tetapi efeknya tidak hanya berhenti di fase tersebut. Ketika terjadi pembuahan, maka perempuan hamil dan membutuhkan waktu hingga 9 bulanan lebih.

Kehamilan

Di awal kehamilan ada morning sickness, all day sickness, resiko abortus atau keguguran, kram perut, perubahan fisik karena hormon kehamilan. Setiap kehamilan perempuan memiliki pengalaman yang berbeda, bahkan satu perempuan dengan beberapa kali kehamilan mengalami sensasi yang tidak sama.

Ini yang Al-Qur’an sebut sebagai kurhan dan wahnan ‘ala wahnin. Perintah mengapresiasi perempuan saat hamil ada dalam Al-Qur’an:

حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ

“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (QS. Luqman: 14)

Melahirkan dan Menyusui

Melahirkan juga menjadi pengalaman dahsyat bagi perempuan. Al-Qur’an mengatakan bahwa Sayyidah Maryam pun, yang merupakan perempuan suci, merasakan pengalaman yang seolah-olah tidak ingin terulang lagi (dengan penyebutan kalimat “Yaa laitani”).

فَاَجَاۤءَهَا الْمَخَاضُ اِلٰى جِذْعِ النَّخْلَةِۚ قَالَتْ يٰلَيْتَنِيْ مِتُّ قَبْلَ هٰذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَّنْسِيًّا

“Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (QS. Maryam: 23).

Risiko melahirkan tidak hanya taruhan nyawa, tapi pemulihan pasca melahirkan. Melahirkan secara operasi pun terkadang masih dianggap bukan melahirkan secara normal, padahal operasi meminimalisir risiko berat berupa kematian antara ibu dan bayi.

Pengalaman menyusui bagi perempuan juga tidak mudah, Sayyidah Hajar, saat Ismail menangis sebab air susu ibunya kering dan tidak keluar karena mengalami paceklik yang luar biasa menuntutnya untuk tirakat berlari-lari kecil sambal berzikir (tawaf) dari Bukit Shafa ke Marwa.

Allah Swt. mengapresiasi tirakat seorang ibu yang ingin memberikan air kehidupan bagi putranya. Zam-Zam mengalir, Hajar meminum air tersebut. Lalu setelah ia merasa payudaranya bernutrisi kemudian ia susukanlah kepada Nabiyullah Ismail.

Kini, kondisi bagi sebagian ibu tak jauh beda dengan Sayyidah Hajar, para perempuan tidak hanya dihadapkan pada pemenuhan gizi selama menyusui, seperti stunting pada bayi yang prosentasinya cukup tinggi karena kurangnya pemenuhan standar gizi bagi ibu menyusui. Ibu yang telah terpenuhi nutrisinya juga masih harus berjuang dengan karakter puting yang berbeda.

Contohnya payudara dengan jenis puting flat yang membutuhkan beberapa treatment agar bayi bisa menyusu, risiko ASI seret, risiko puting terluka, iritasi, berdarah, hingga bernanah, dan itu dijalani selama “haulaini kamilaini”, 2 tahunan bahkan lebih, proses menyapih yang juga tak mudah bagi psikis ibu dan bayi sekalipun menggunakan metode menyapih dengan cinta atau weaning with love.

Prosesnya begitu panjang demi bisa memberikan nutrisi kepada bayi, tanggung jawabnya untuk menjadi murabbil jasad kepada putra-putrinya bukan menjadi hal yang bisa diremehkan hanya karena dia menjadi perempuan.

Guyonan Seksis

Sayangnya, banyak yang kurang mengapresiasi hal ini dengan mengeluarkan guyonan seksis “menyusui bapaknya”, “bapak kalah saingan dengan bayinya” dan guyonan yang mengarah pada pelecehan tentang anatomi tubuh perempuan. Ingat bagaimana Aura Kasih sebagai pejuang ASI menceritakan prosesnya menjadi ibu menyusui? Komentar-komentarnya tak luput dari pelecehan seksual yang tidak bisa dibendung. Dia sempat menulis perlawanan “Kalian lahir dari mana? Setetes air susu ibu itu yang membuat kalian hidup.”

Bayangkan, betapa “gift” dari Tuhan berupa payudara yang menjadi sumber penghidupan pertama seorang anak manusia dengan mudahnya dilecehkan, sedangkan laki-laki tidak mengalami puting lecet, payudara penuh, atau resiko mastitis (radang kelenjar susu) saat menyusui.

Betapa gambaran terdahulu dari perempuan-perempuan agung era para nabi dan rasul tidak cukup menyadarkan untuk sebagian manusia yang masih asik dengan fantasi seksualnya dan menjadikan perempuan sebagai objektifikasi.

Belum lagi soal nifas, perdarahan pada vagina perempuan pasca melahirkan. Hitungannya mingguan bahkan bulanan. Lalu darah yang keluar lebih dari 60 hari mewajibkan perempuan muslimah harus paham istilah “istihadlah fin nifas”.

Namun hikmah di balik nifas adalah masa beristirahat bagi seorang ibu untuk melakukan aktivitas berhubungan seksual dengan suaminya. Masa fokus untuk pemulihan kesehatan reproduksinya setelah melahirkan, terkadang hal ini kurang disadari oleh kaum suami. Sehingga perhatian kepada seorang ibu pasca melahirkan sering terabaikan, tidak hanya oleh suaminya tetapi juga lingkungan sekitar hingga terjadi baby blues dan post partum depression (PPD) yang dialami seorang ibu. Di Indonesia sendiri, baby blues dan PPD mencapai angka 2 juta per tahunnya.

Allah Mengapresiasi Pengalaman Biologis Perempuan

Maka ketika mendapatkan ayat cinta dari Tuhan “Wa ‘aasyiruuhunna bil ma’ruf”, kita membacanya dengan penuh bahagia. Betapa Allah Swt. mengapresiasi pengalaman biologis perempuan dengan perintah “perlakukan perempuan dengan bermartabat”. Nabi juga menyuarakan untuk memperlakukan perempuan dengan baik:

مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ ، وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَئِيْمٌ

“Tidaklah yang menghormati perempuan kecuali orang mulia. Dan tidaklah yang menghinakan perempuan kecuali orang yang hina pula.” (HR. Ibnu Asakir)

Begitu pula khotbah Nabi kepada umatnya ketika Haji Wada’:

أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Ingatlah, saling berwasiatlah kalian semua, untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka sering dianggap sebagai tawanan, padahal tidak ada hak bagi kalian kecuali untuk kebaikan (mereka) tersebut.” (Sunan At-Tirmidzi no. 1196)

Tidak mudah bagi seorang perempuan di ruang pendidikan untuk bisa sampai pada tekad melanjutkan kuliah hingga doktoral di kampus swasta juga berbayar dengan jumlah kebanyakan laki-laki. Mereka harus mau melawan stigma terlebih dahulu dengan dogma patriarki masyarakat sekitarnya.

Yakni bahwa “perempuan lebih baik di rumah” atau “perempuan tidak perlu sekolah tinggi.” Selain itu juga tuntutan “perempuan boleh melakukan ini dan itu dengan syarat urusan domestik rumah tangga harus sudah beres”.

Kami perempuan hanya ingin mensyukuri nikmat berupa akal pemberian Tuhan untuk memberdayakan diri dalam hal keilmuan hingga jenjang tinggi perkuliahan sebagaimana laki-laki dengan mudah mengakses fasilitas tersebut tanpa ditanyai “Mengapa Bapak terlambat? Apakah Bapak melayani istri terlebih dahulu?” Atau pertanyaan “Kok Bapak kuliah S3? Anaknya siapa nanti yang mengasuh?”

Melawan Perundungan terhadap Perempuan

Guyonan seksis memang tidak bisa kita hindarkan di tengah masyarakat yang kental patriarkinya. Apalagi guyonan seksis di grup whatsapp yang kebanyakan anggotanya adalah laki-laki. Kita mungkin bergidik, dan merasa jijik, apalagi sebagai perempuan yang menjadi obyek pelecehan seksual.

Tetapi hal ini bisa kita cegah dengan tidak “ketok tular” atau memutus mata rantai chat yang berbau pelecehan seksual. Harus ada yang berani untuk meminimalisir kezaliman pada perundungan tubuh-tubuh berharga yang mana dalam surah Al-Isra’ ayat 70 disebut sebagai tubuh yang dimuliakan oleh Allah.

Untuk Perempuan, jangan ragu untuk speak up di grup jika guyonan tersebut sudah membuat kita tidak nyaman. Kita berhak berada di ruang yang aman dan nyaman.

Ada baiknya, bagi laki-laki berpendidikan tinggi dan memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni kembali merenungkan ayat Allah Swt. surah An-Nur ayat 30:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur)

Konsep Ghaddul Bashar

Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. menjelaskan bahwa konsep Ghadlul Bashar dalam Al-Qur’an itu bukan Ghadlul ‘Uyun atau menundukkan mata sehingga tidak mau melihat lawan jenis, Ghadlul Bashar bermakna tidak memandang lawan jenis sebagai makhluk seksual.

Tidak melulu memandang lawan jenis dari sisi fisik dan biologis saja, tapi memandang lawan jenis sebagai makhluk intelektual, makhluk spiritual dan makhluk yang berakal budi, jadi ketika saling bertemu bukanlah seperti hewan pejantan dan betina.

Ghaddul Bashar mengontrol cara kita memandang dengan tujuan Hifdzul Furuj, agar tidak terjerumus pada zina. Percuma jika menundukkan pandangan pada lawan jenis, tidak bersalaman dengan lawan jenis tapi imajinasi seksnya liar dan melecehkan perempuan.

Hal ini berlaku juga bagi perempuan untuk menerapkan konsep Ghaddul Bashar, surah An-Nur ayat 31:

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31)

Tidak cukupkah Al-Qur’an sebagai peringatan, “wa laa taqrabu az-zinaa”. Janganlah kalian melecehkan tubuh kalian sendiri dan tubuh orang lain. Perempuan sebagaimana laki-laki berhak mendapatkan fasilitas yang sama berupa pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi, dan penghidupan yang layak.

Namun perempuan memiliki pengalaman biologis yang tidak dimiliki oleh laki-laki yang seharusnya diapresiasi dengan cara memperlakukan perempuan secara bermartabat dan tidak melecehkan mereka baik secara lisan maupun tulisan. []

tulisan ini diterbitkan pertama kali di  https://mubadalah.id/perempuan-di-ruang-pendidikan-hingga-konten-kreator-kinderflix-dilecehkan-salah-siapa/

Error 404

The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.

Go to Homepage