Abuya (bagian 1)

Main Posts Background Image

Main Posts Background Image

Jumat, 06 Januari 2023

Abuya (bagian 1)


Aku selalu lancar dan baik ketika menceritakan sejarah orang-orang mulia, sejarah guru-guruku, bahkan aku sanggup menulis manaqib dengan untaian kata yang indah bak mutiara sambil menangis tersedu-sedu ketika mengingat kembali kehidupan orang-orang mulia.

Tapi aku tidak terlalu baik ketika menciptakan torehan tentang Buya dan Ibuku. Aku tidak bisa, tidak sanggup, atau bahkan tidak mau..

Di saat ini, izinkan aku menuliskannya. Sebagai kenangan terindah. Aku takut tidak memiliki waktu lagi untuk menuliskannya. Sebagai penulis, orang tuaku yang mengajarkan aksara pertama bagiku setidaknya akan berbahagia membacanya, keyakinanku mereka akan selalu hidup dan tentu saja membaca tulisan-tulisanku, hanya dimensi yang membuat kita tidak bertemu, meskipun aku ragu, mereka tak suka berlebihan jika seseorang memujanya, bahkan anaknya sendiri.

Bapakku, kami memanggilnya Buya, Abuya Mas Ahmad Cholil Said bin Said bin Fathul Manan bin Fattah bin Abdur Rohman bin Syamsul Arif bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban. 

Beliau tidak pernah membanggakan keturunannya, kami pun baru mengetahui bahwa Buya adalah jalur ke-32 urutan dari Kanjeng Nabi setelah beliau wafat. Sebelum wafat beliau pernah berpesan agar kami mencari sanad dzurriyah hingga Kanjeng Nabi, bukan untuk dibanggakan, melainkan sebagai tawassul sebelum mengkhatamkan Al-Qur’an, sebelum berdoa, membacakan fatihah satu per satu sampai Kanjeng Nabi. Berharap semoga jejak langkah kita senantiasa mengikuti langkah leluhur kita yang mulia. Nasab sebagai cermin, bukan sebagai kendaraan kita melenggang di kehidupan. 

Buya, orang yang memastikan bahwa apa yang masuk di perut keluarganya adalah makanan yang halal, jangankan yang haram, yang syubhat pun enggan. Jika kami kekurangan bumbu ketika memasak, maka solusinya adalah berhenti memasak, atau beli, bukan nempil ke tetangga, tidak pula ke keluarga. Meskipun kekurangannya adalah barang sepucuk sendok garam. 

Buya kami bisa mempraktikkan kehidupan yang bebas hutang, tidak pula kredit, tidak juga arisan. Beliau senantiasa mendendangkan syiir “hiyad dunya aqollu minal qolili, wa ‘aasyiquhaa adzallu minadz dzalili”. Suatu saat ibu kami melemparkan biji lombok di sebelah rumah kami, sebuah tanah subur yang tiada berpenghuni selama puluhan tahun, terkadang dimanfaatkan warga untuk membuang sampah dan membakarnya di sana. Lalu tumbuhlah tanaman lombok yang berbuah dengan lebat, diambillah barang satu atau dua untuk membuat sambal. Maka ditegurlah ibu oleh Buya kami, beliau mengatakan bahwa “Tanaman itu mungkin hakmu karena kamu telah menabur bijinya, tetapi tanah yang menumbuhkannya bukanlah tanahmu, maka haram bagimu memanfaatkan dari sesuatu yang bukan hakmu”. 

Pekerjaan Buya kami bermacam-macam, beliau orang yang sangat ahli dalam jahit-menjahit, beliau pernah bekerja serabutan sebagai penjahit gitar di sebuah konveksi. Kami sering membeli baju yang kebesaran, maka Buya yang bertugas permak, kami juga sering dibuatkan baju-baju dengan model sederhana. Buya kami semasa mudanya pernah menjadi supir angkot. Beliau melakukan pekerjaan yang bisa menghasilkan untuk membantu ibunya, nenek kami yang telah menjadi janda. Selepas menjadi yatim, Buya kami bekerja dengan keras sebab beliau kakak pertama berusia 13 tahun yang memiliki 8 adik, maka pesantren yang diasuh oleh kakek kami lambat laun mulai ditinggalkan santri-santrinya yang telah dewasa. Tidak heran jika paman dan bibi kami sangat mencintai Buya kami, sebab perannya beralih menjadi Bapak bagi adik-adiknya. 

Buya kami dulu orang yang dimanjakan oleh kakek, ketika beliau mondok di Jombang dalam usia yang masih belia, kakek kami membawakan Buya kami khodam yang membantu Buya kami dalam mengurusi pekerjaan-pekerjaan domestik selama di pesantren. Tujuan kakek kami sebenarnya sangat sederhana, ingin Buya kami fokus dalam belajar dan mengaji di usia yang masih belia tersebut, dan ternyata kakek kami meninggalkan buya kami begitu cepat. Kakek kami bernama Mbah Said, beliau Kiai yang alim dalam ilmu fikih dan ilmu alat. Santri-santri beliau datang dari berbagai kota, tidak terkecuali santri dari Sidoresmo sendiri. Menurut penuturan guru kami yang mulia, Kiai Mahmud Sidoresmo, hampir seluruh orang Sidoresmo berguru kepada kakek kami, beliau tidak hanya sepuh (dituakan) di kampung kami, Sidoresmo, namun juga sepuh dalam urusan ilmu. Menurut penuturan sepupu Buya kami, KH. Mas Agus Basyaiban, Mbah Said dulu seperguruan dengan Mbah Jalil Tulungagung. 

Buya kami sangat gemar berziarah ke makam para wali, beliau sangat mencintai kiai dan para wali, beliau berguru kepada Mbah Jalil Tulungagung, Kiai Ali Jombang, Mbah Yai Muhajir Basyaiban, Mbah Hamid Pasuruan, Mbah Yai Husein Ilyas Mojokerto.

Buya kami adalah tipikal orang yang tidak pernah marah, terhadap kesalahan putra-putrinya beliau memaafkan, bentuk marah (healing) buya kami adalah beliau diam lalu keluar rumah untuk berziarah ke sarean para wali lalu mampir ke warung kopi, setelah itu buya kami pulang dengan wajah berseri-seri, indah dan teduh sekali wajahnya, bahkan buya kami tidak segan untuk meminta maaf terlebih dahulu kepada kami, meskipun tidak ada kesalahan yang beliau buat sebelumnya. Buya kami adalah orang yang selalu ramah kepada siapa pun, tidak pernah meremehkan orang lain, tidak juga meremehkan santri. Jika ditegur sapa senantiasa melempar senyum, jika diberikan penghormatan akan jauh lebih menghormati, jika diajak salaman oleh santri selalu memperhatikan dan menunduk.

Aku akan meneruskan kisah Buya pada tulisan selanjutnya, sementara ini yang bisa aku tuliskan, air mataku tak berhenti berlinang ketika menulisnya. Walid kami, Mas Ahmad Cholil Said, Al-Faatihah..






Tidak ada komentar

Posting Komentar

Budayakan berkomentar  ヽ(^。^)ノ

Error 404

The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.

Go to Homepage